PUTU
Diantara dar dor itu, ada yang bunyinya anti mainstream, Cuma pletak pletak,
kemudian beberapa gelak tawa mulai terdengar, mengejek bunyi nista mercon
gadungan itu. Padahal kalo menurutku bunyi itu lebih ramah lingkungan,
dibanding mercon halilintar yang bunyi ledakannya sampai menggetarkan
singgasana pak RT, tapi mau bagaimana, kurang lebih pak RT pikirannya sejalan
denganku. Emang udah waktunya, masak
anak-anak kegirangan kek gitu mau
dilarang, sahut istri pak RT yang kekuatan demokrasinya lebih mantep.
Meskipun begitu aku masih menggerutu.
“Iya, tapi suara bledosan
merconnya masuk di liang telingaku.” Memang, salah satunya yang tidak pilih
kasih ya bunyi, mau kuping pengemis, kuping pak RT bahkan kuping pak Presiden
dimasukinya tanpa harus permisi dulu.
Tapi, sepertinya manusia-manusia di bumi RT 1 ini
sedang demen mendengarkan ledakan,
buktinya mereka tak ada yang khawatir sepertiku kalau-kalau salah satu dari bunyi ledakan itu
ternyata pelurunya teroris, sebagaimana isu tahunan yang rutin dikeluarkan pemerintah
menjelang tahun baru, untungnya.
‘krekit
krekit krekit’
Bunyi engsel jendela kamar sama sekali tak mengusik
ketenangan mas Peter. Oh salah, bunyi ternyata kadang-kadang tidak mau masuk
dikupingnya orang bobok. Apa orang boboknya yang tidak mau mendengar bunyi?
Mas Peter masih ngorok dengan mantep tanpa goyah. Aku yang mendengar dar dor mercon halilintar
masih belum mood untuk melanjutkan
tidur. Aku kok jadi khawatir, tiba-tiba menemui diriku sendiri sudah berada
diantara arek nom-noman itu, ikut-ikutan
nonton mercon.
“Dek? Kenapa kok gak
tidur?” lha itu dia, mas Peter baru
bangun setelah deritan kesekian dari jendela kamar kami.
“Berisik, banyak mercon.”
Kujawab singkat, sengaja. Sambil kepalaku
kodongakkan lewat jendela.
“Kamu menggerutu begitu karena hanya mempercayai apa
yang kamu dengar, bukan yang kamu saksikan. Coba kalo kamu sambil dengar kan bledosannya juga ikutan keluar
memandangi cakrawala, kamu pasti bersyukur sama Gusti Allah karena dikasih
mata.”
Seperti biasa, walaupun matanya masih sayup karena
baru bangun, ke-bijak-kan mas Peter masih ajeg
tak lekang oleh waktu. Gak kaya mas Joko tukang mebel, waktu itu anaknya yang
paling miskin lagi belanja di pasar tradisional ngadu kalo harga cabe meroket, eh lha kok malah di suruh nanam
cabe sendiri. Padahal tadinya anak perempuannya, si Kampreti cuma lagi manja,
lagi ingin di manja, biar hanya dari penurunan harga cabe saja.
Lamunanku agak kelamaan, mas Peter ternyata sudah
memakai blangkon motif Sidomukti kesayangannya.
“Ayo dek, jalan-jalan.”
Aku agak sangsi dengan ajakannya mas Peter.
“Mas, malem-malem begini?”
Mas Peter tersenyum, yang kalau sudah seperti itu,
pasti tidak ingin dibantah.
“Lho ayo,
aku menyayangkan, ketika kepala mungilmu itu mengintip lewat jendela, nanti
pegel, yang fatal juga, kemarin engselnya belum sempat diganti, nanti kalo
tiba-tiba jendelanya coplok anggaran
kita bisa nambah, katanya mau beli mesin cuci portable.”
Jawaban mas Peter sukses membuat bibirku ngumpul ditengah. Aku memaki dalam hati.
‘Dasar patriarkis alus, dia tidak tahu kalau aku sebenarnya ingin traveling ke Rumania.’
Aku menyambar sweater rajut warna navy andalanku.
“Enggak-enggak,
mas sebenarnya hanya ingin memulai hari pertama di tahun ini bersamamu dek,
biar yang mas gumamkan tiap ngelukis orang pacaran bukan hanya semboyan, i love you endlessly.”
Mau tak mau aku tersenyum, bujukan mas Peter kali
ini agak lebay, mas biasanya memang
suka gombal, dan kali ini ada yang
baru, sok di-Inggris-inggriskan gitu,
mentang-mentang aku doyan baca
syair-syair nya William Shakespeares, tukang putu langgananku di pinggir pantai
itu lho.
Mas peter sudah nangkring
diatas motor vespa kesayangannya.
“Yok dek, nanti beli putu di jalan.”
“Ayo.”
.
Biarpun malam. Jalanan di pesisir pantai masih rame. Pemuda-pemudi daerah hampir
memenuhi setiap sudut kafe. Beberapa dari mereka ternyata ada Kafira, anaknya
bude Denok tetangga kami. Pantesan tadi dari kamar aku tidak dengar suaranya,
padahal biasa suaranya masih kedengaran walau tak pakai toa.
“Untungnya kita sudah menikah ya mas. Kalau tidak,
mungkin kita juga masih terpenjara seperti mereka. Ya, terpenjara dalam dosa.”
Mas Peter tiba-tiba berhenti, sambil celingak-celinguk. Aku ikutan bingung.
Tapi selidik demi selidik ternyata mas Peter ingat satu momen. Jadi, sebenarnya
sebelum nikah aku dan mas Peter gak
religius-religius amat, cuma sekitar
2 bulan setelah nikah, mas Peter rupanya mendapat hidayah berkat
ceramah-ceramah yang didengarkannya di masjid Nurul Huda tiap jum’atan. Dia
pulang dan mengingatkan aku untuk menutup aurat dan lain sebagainya, mau tidak
mau aku pun terdampak. Cuma Alhamdulillahnya aku dan mas Peter tidak sampai
pada level menghakimi. Kalau sampe begitu, maka durhakalah kami pada Tuhan, kan
hanya Tuhan yang Maha Hakim. Itu semua tak luput dari petuah suamiku. Katanya
‘kita hanya disuruh beri nasihat dan saling mengingatkan dek, jangan sampai
memaksa mereka untuk mengikuti mau kita.’ Agaknya nama masjid di RT kami
benar-benar wujud dari do’a, buktinya kami diberi cahaya petunjuk.
Tapi lama kelamaan karena pas itu aku dan mas Peter
lagi panas-panasnya belajar hijrah, tiap-tiap insan yang pacaran kami ceramahi.
Naasnya orang terakhir yang mendapatkan ceramah ala kami adalah anaknya bude
Denok, yang bebalnya InsyaaAllah dunia akhirat. Habis kami beri siraman rohani
lengkap beserta ayat-ayatnya, Eh anak itu malah balik ceramah.
“Katanya hanya Tuhan yang Maha Hakim, masa aku yang
Cuma pacaran saja kalian nerakakan, katanya mbah Kaji juga neraka itu adlaah
tempat bagi orang-orang yang hina, tapi coba dipikir Yu, lebih hina mana aku
apa orang yang kena operasi tangkap tangannya Yang Mulia KPK?”
Celeguk. Iya ya, tapi padahal aku dan mas Peter
niatnya Cuma mau menghindarkan si Kafira dari siksa neraka, tapi yo wes lah, dari sana aku dan juga mas
Peter menarik kesimpulan, ada beberapa kondisi orang bisa menerima nasihat,
salah satunya adalah ketika orang itu sedang berada di titik terrendahnya. Mau
tidak mau kami menunggu sambil menyumpahi Kafira, biar cepat menjemput titik
terendahnya. Deg. kami sadar satu hal lagi, bahwa kami belum benar-benar hijrah
karena masih merutuk dalam hati.