Sunday, September 10, 2023

Minggu


Sebuah ketikan tentang Minggu dan Aku

Pagi ini aku terbangun dalam keadaan Minggu yang hampir habis

Membuat ku mengutuk sepanjang hari

Minggu malah ku habiskan dengan terbaring di kasur seperti orang sakit

Tadi malam padahal aku sudah menyusun skenario untuk Minggu kali ini

Aku ingin menikmati Minggu pelan perlahan

Subuhnya diawali dengan lari-lari kecil

Paginya dijalani sambil makan putu di pinggir pantai

Siangnya dipakai untuk memasak

Sorenya dihabiskan dengan makan siomai di pinggir jalan

Jadi tiba-tiba teringat

Dulu aku bisa menikmati Minggu dengan pergi ke pasar

Membeli ikan untuk dibakar

Tapi memikirkan hal itu malah bikin aku pengen menghabisi Minggu ini dengan brutal

Lantaran kelebat ingatan tentang Minggu yang 'lain' di kepalaku bikin aku susah untuk berada di kenyataan saat ini

Kenyataan tentang kepergian

Meninggalkan aku dan Minggu yang 'akrab' tiba-tiba kehilangan arah

Aku saat ini butuh panduan menjalani Minggu

Kalau masih Senin, Minggu akan membantuku yakin kalau 5 hari lagi bukan waktu yang lama

Kalau Selasa, Minggu sudah agak bosan dan paling-paling hanya berceramah, barang siapa yang menghabiskan Selasa dengan susah payah, maka Minggu akan terasa seperti hadiah.

Kemudian Rabu, aku tanpa diyakinkan bisa benar-benar yakin kalau Minggu bisa sedekat itu kalau aku melaluinya dengan ber sibuk-sibuk.

Kamis, sudahlah ternyata masih 2 hari lagi aku harus menunggu.

Jumat, karena terasa sangat pendek, aku rasa Jum'at sudah kongkalikong sama Minggu untuk menyenangkan aku.

Sabtu, entah kenapa malah membuat perasaanku gundah, belum bertemu Minggu saja aku sudah khawatir Minggu akan tiba-tiba habis.

Tapi aneh Minggu yang ku tunggu-tunggu ini tiba-tiba jadi sangat sibuk, dan menyuruhku lembur, apa tidak cukup mimpi ku yang harusnya berupa perjalanan itu dibajak dengan kerjaan, masa Minggu ku juga harus di habiskan dengan kerjaan.

Aku memikirkan sebuah ide untuk menukar Minggu dengan gajiku. Tidak mungkin.

Menukar Minggu dengan sakit ku. Tidak mungkin.

Apa Minggu ini sebenarnya, kenapa keberkahannya mengalahkan hari-hari yang lain.

Aku merasa diriku sudah tidak kebagian Minggu, walau sudah menunggu nya selama 6 hari dalam keadaan bersusah-payah

Aku ingin merasakannya, setidaknya 30 kali dalam sebulan.

Kalau kebanyakan mungkin 15 kali dalam sebulan. 

Sampai dengan malam dimana Minggu sudah mencapai penghujung

Sadarlah aku.

Aku hanya bosan bicara dan ketemu sama manusia Senin

Maka aku butuh Minggu untuk jadi jeda

Tapi kenyataan bahwa Minggu muncul 4 kali dalam sebulan pun sudah jadi kemewahan bagiku saat ini

Minggu dan aku sepakat akan mengadakan pertemuan

Didalam jiwaku.

Palu, 10 September 2023

Saturday, February 23, 2019

Pasar


Disebuah sore di taman kampus, tempat terfavorit Alice dan Peter. Mereka disana lagi hari ini, menunggu burung-burung pulang ke rumahnya.
"Aku pergi ke pasar sabtu kemarin mas. Ada beberapa hal tentangnya yang membuatku kagum."

"Apa lagi kali ini?" Peter masih menunduk main game online.

"Bahwa orang_orang di pasar tradisional ternyata lebih manusiawi di banding pasar modern. Orang di pasar tradisional entah kenapa tetap saja sabar dengan mobil yang bikin macet jalanan, dengan motor yang knalpot bogarnya bikin kuping budek. Mereka tidak ada yang badmood dan kemudian memaki-maki antar sesama, meskipun dagangannya hampir dilindas ban motor. Kayaknya mereka sudah benar-benar menggantungkan rezeki pada seadil-adil Pemberi."

"Kalo pasar modern gimana emangnya dek?"

"Kalo pasar modern, sudahlah. Tidak ada yang menarik, semua yang mereka lakukan menggambarkan kalau manusia berhasil jadi budaknya produk-produk elit, mereka memilih cekcok dengan orang lain daripada kehilangan baju incarannya. Padahal kan mereka bisa ngomong baik-baik sambil ngobrol ringan seputar mode misalnya."

"Itu kan hobimu dek, gak bisa kau generalkan pada semua orang, orang modern tidak suka buang-buang waktu."

"Tapi, bukannya yang lebih buang-buang waktu adalah menundukkan kepala sambil main gadget?"

Peter mematikan gadgetnya dan tersenyum simpul, kekasihnya sedang mengalami moodswing.
"Kamu nyindir mas ya dek?"

Alice menatap Peter kesal, ia tahu mereka akan menghabiskan petang bersama kalau perdebatan mereka berlanjut, ia juga tahu bahwa kepala mungilnya itu senang bersandar di bahu Peter dibawah senja, tapi bukan itu, sebenarnya ia lebih tahu kalau Mas Peter nya akan menunda shalat maghrib lagi kali ini dengan alasan perdebatan mereka belum usai. 



Palu, hari ke-24 bulan Februari 2019

Monday, February 11, 2019

PUTU
Diantara dar dor itu, ada yang bunyinya anti mainstream, Cuma pletak pletak, kemudian beberapa gelak tawa mulai terdengar, mengejek bunyi nista mercon gadungan itu. Padahal kalo menurutku bunyi itu lebih ramah lingkungan, dibanding mercon halilintar yang bunyi ledakannya sampai menggetarkan singgasana pak RT, tapi mau bagaimana, kurang lebih pak RT pikirannya sejalan denganku. Emang udah waktunya, masak anak-anak kegirangan kek gitu mau dilarang, sahut istri pak RT yang kekuatan demokrasinya lebih mantep.
Meskipun begitu aku masih menggerutu.

“Iya, tapi suara bledosan merconnya masuk di liang telingaku.” Memang, salah satunya yang tidak pilih kasih ya bunyi, mau kuping pengemis, kuping pak RT bahkan kuping pak Presiden dimasukinya tanpa harus permisi dulu.

Tapi, sepertinya manusia-manusia di bumi RT 1 ini sedang demen mendengarkan ledakan, buktinya mereka tak ada yang khawatir sepertiku  kalau-kalau salah satu dari bunyi ledakan itu ternyata pelurunya teroris, sebagaimana isu tahunan yang rutin dikeluarkan pemerintah menjelang tahun baru, untungnya.

‘krekit krekit krekit’

Bunyi engsel jendela kamar sama sekali tak mengusik ketenangan mas Peter. Oh salah, bunyi ternyata kadang-kadang tidak mau masuk dikupingnya orang bobok. Apa orang boboknya yang tidak mau mendengar bunyi?

Mas Peter masih ngorok dengan mantep tanpa goyah. Aku yang mendengar dar dor mercon halilintar masih belum mood untuk melanjutkan tidur. Aku kok jadi khawatir, tiba-tiba menemui diriku sendiri sudah berada diantara arek nom-noman itu, ikut-ikutan nonton mercon.

“Dek? Kenapa kok gak tidur?” lha itu dia, mas Peter baru bangun setelah deritan kesekian dari jendela kamar kami.

“Berisik, banyak mercon.”
Kujawab singkat, sengaja. Sambil kepalaku kodongakkan lewat jendela.

“Kamu menggerutu begitu karena hanya mempercayai apa yang kamu dengar, bukan yang kamu saksikan. Coba kalo kamu sambil dengar kan bledosannya juga ikutan keluar memandangi cakrawala, kamu pasti bersyukur sama Gusti Allah karena dikasih mata.”

Seperti biasa, walaupun matanya masih sayup karena baru bangun, ke-bijak-kan mas Peter masih ajeg tak lekang oleh waktu. Gak kaya mas Joko tukang mebel, waktu itu anaknya yang paling miskin lagi belanja di pasar tradisional ngadu kalo harga cabe meroket, eh lha kok malah di suruh nanam cabe sendiri. Padahal tadinya anak perempuannya, si Kampreti cuma lagi manja, lagi ingin di manja, biar hanya dari penurunan harga cabe saja.

Lamunanku agak kelamaan, mas Peter ternyata sudah memakai blangkon motif Sidomukti kesayangannya.
“Ayo dek, jalan-jalan.”

Aku agak sangsi dengan ajakannya mas Peter.
“Mas, malem-malem begini?”

Mas Peter tersenyum, yang kalau sudah seperti itu, pasti tidak ingin dibantah.
Lho ayo, aku menyayangkan, ketika kepala mungilmu itu mengintip lewat jendela, nanti pegel, yang fatal juga, kemarin engselnya belum sempat diganti, nanti kalo tiba-tiba jendelanya coplok anggaran kita bisa nambah, katanya mau beli mesin cuci portable.”

Jawaban mas Peter sukses membuat bibirku ngumpul ditengah. Aku memaki dalam hati.
‘Dasar patriarkis alus, dia tidak tahu kalau aku sebenarnya ingin traveling ke Rumania.’
Aku menyambar sweater rajut warna navy andalanku.

“Enggak-enggak, mas sebenarnya hanya ingin memulai hari pertama di tahun ini bersamamu dek, biar yang mas gumamkan tiap ngelukis orang pacaran bukan hanya semboyan, i love you endlessly.”
Mau tak mau aku tersenyum, bujukan mas Peter kali ini agak lebay, mas biasanya memang suka gombal, dan kali ini ada yang baru, sok di-Inggris-inggriskan gitu, mentang-mentang aku doyan baca syair-syair nya William Shakespeares, tukang putu langgananku di pinggir pantai itu lho.

Mas peter sudah nangkring diatas motor vespa kesayangannya.
“Yok dek, nanti beli putu di jalan.”
 “Ayo.”
.
Biarpun malam. Jalanan di pesisir pantai masih rame. Pemuda-pemudi daerah hampir memenuhi setiap sudut kafe. Beberapa dari mereka ternyata ada Kafira, anaknya bude Denok tetangga kami. Pantesan tadi dari kamar aku tidak dengar suaranya, padahal biasa suaranya masih kedengaran walau tak pakai toa.
“Untungnya kita sudah menikah ya mas. Kalau tidak, mungkin kita juga masih terpenjara seperti mereka. Ya, terpenjara dalam dosa.”

Mas Peter tiba-tiba berhenti, sambil celingak-celinguk. Aku ikutan bingung. Tapi selidik demi selidik ternyata mas Peter ingat satu momen. Jadi, sebenarnya sebelum nikah aku dan mas Peter gak religius-religius amat, cuma sekitar 2 bulan setelah nikah, mas Peter rupanya mendapat hidayah berkat ceramah-ceramah yang didengarkannya di masjid Nurul Huda tiap jum’atan. Dia pulang dan mengingatkan aku untuk menutup aurat dan lain sebagainya, mau tidak mau aku pun terdampak. Cuma Alhamdulillahnya aku dan mas Peter tidak sampai pada level menghakimi. Kalau sampe begitu, maka durhakalah kami pada Tuhan, kan hanya Tuhan yang Maha Hakim. Itu semua tak luput dari petuah suamiku. Katanya ‘kita hanya disuruh beri nasihat dan saling mengingatkan dek, jangan sampai memaksa mereka untuk mengikuti mau kita.’ Agaknya nama masjid di RT kami benar-benar wujud dari do’a, buktinya kami diberi cahaya petunjuk.

Tapi lama kelamaan karena pas itu aku dan mas Peter lagi panas-panasnya belajar hijrah, tiap-tiap insan yang pacaran kami ceramahi. Naasnya orang terakhir yang mendapatkan ceramah ala kami adalah anaknya bude Denok, yang bebalnya InsyaaAllah dunia akhirat. Habis kami beri siraman rohani lengkap beserta ayat-ayatnya, Eh anak itu malah balik ceramah.
“Katanya hanya Tuhan yang Maha Hakim, masa aku yang Cuma pacaran saja kalian nerakakan, katanya mbah Kaji juga neraka itu adlaah tempat bagi orang-orang yang hina, tapi coba dipikir Yu, lebih hina mana aku apa orang yang kena operasi tangkap tangannya Yang Mulia KPK?”

Celeguk. Iya ya, tapi padahal aku dan mas Peter niatnya Cuma mau menghindarkan si Kafira dari siksa neraka, tapi yo wes lah, dari sana aku dan juga mas Peter menarik kesimpulan, ada beberapa kondisi orang bisa menerima nasihat, salah satunya adalah ketika orang itu sedang berada di titik terrendahnya. Mau tidak mau kami menunggu sambil menyumpahi Kafira, biar cepat menjemput titik terendahnya. Deg. kami sadar satu hal lagi, bahwa kami belum benar-benar hijrah karena masih merutuk dalam hati.




Monday, January 21, 2019


Petang


Peter di bawa jalan-jalan oleh Pak De Frans petang itu, diantara waktu Asar dan Maghrib yang hawanya adem nan sirep itu lho.
"Tahu ndak Le, kenapa sapinya Pak De namai Bibit?"

Pak De Frans mengelus leher Bibit, bagian favorit nya.
Peter yang sebenarnya sudah bisa menebak jawabannya hanya menggeleng dan pura-pura antusias.
"Nggak tau Pak De."

Pak De Frans duduk di pinggiran palongan, tempat menaruh pakan sapi, sambil meraba-raba kantongnya, mencari rokok.
"Harapannya sih biar dia jadi benih yang akan melahirkan banyak anak dan mengisi kandang yang hanya penuh dengan keteraturan ini."

Peter melepas topi koboinya sebentar, kemudian memakainya lagi. Rupanya ada yang menarik pikirannya.
"Semacam doa gitu ya Pak De?"

Pak De Frans mengangguk. Sambil menyedot rokok andalannya.
"Ya begitulah, tapi seumur-umur belum pernah terkabul, karena kalau butuh nya Pak De numpuk Bibit dijual sebelum sempat melahirkan anaknya."

"Berarti hutangnya Pak De sudah menghalangi terkabulnya doa keluarga ini ya?" Ledek Peter menilik ekspresi Pak De Frans.

"Belum tentu, ternyata Bibit malah lebih berbobot jika difungsikan untuk bayar hutang Le." Pak De Frans mulai menunjukkan kearifannya.

Peter tersenyum, betapa kesederhanaan di keluarga ini membuatnya tersentuh,  sepanjang pengamatannya orang tua ini tak pernah merasa susah dihadapan anak-anaknya, Pak De Frans selalu saja tenang menghadapi semua masalah, dan juga hal yang paling indah menurut Peter adalah semuanya punya filosofi sendiri dimata Pak De Frans, itu semakin membuat makhluk-makhluk disini atau bahkan dirinya sendiri merasa punya nilai, ada banyak celah yang bisa ditemukan Pak De Frans untuk sekadar memaklumi ketidaksempurnaan, ia mengangguk paham, tahulah ia kenapa bapaknya kemarin minta solusi ke Pak De Frans untuk masalah sepele seperti menenangkan ibunya yang sedang PMS, ternyata Pak De Frans kualitasnya masih sama seperti dulu. Epic.

"Pak De, maaf ya kalau Pit agak out of the topic, sebenarnya bagaimana agar kita terbebas dari pikiran zholim?" Peter masih mengutak-atik topi koboinya.

"Hati-hati memahami arti dari zholim Le, karena menurut Pak De tidak ada orang yang tidak zholim di dunia ini, zholim itu macem-macem lho, kamu alim dan rajin ibadah saja bisa dianggap zholim."
Pak De Frans tiba-tiba jadi serius, Peter akhirnya tidak pura-pura antusias lagi, kali ini ia harus dapat penjelasan.

"Bukannya yang penting aku tidak menyakiti orang lain ya?"
Pak De Frans mematikan rokoknya.

"Ada lagi Le, kamu juga harus memastikan orang lain tidak sedang disakiti, baru kamu bisa menamai dirimu bukan orang zholim."

Peter kemudian merenung agak lama, memikirkan langkahnya waktu Jum'atan di musholanya Mbah Marx Jum'at kemarin, berarti itu semua sia-sia kalau orang disekitarnya tetap seperti itu. Dia sholat 5 waktu selalu berjamaah, puasa senin kamis nyaris setiap minggu karena tidak pernah dapat palang merah, baca Al-Qur'an juga sudah kaya hobi. Tapi semua itu sia-sia rupanya, yang dilakukannya itu semata-mata hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, ia tak sadar telah menuhankan surga yang hanya ciptaan, dan me-neraka-kan orang-orang yang dianggapnya tidak beriman, padahal itu semua adalah tanggung jawabnya, yang terjadi malah dia tak lagi peduli pada si Minul yang ternyata nyaris murtad diluar sana.
"Celakalah aku."

Setelah mengatakan itu, Peter berlari menuju rumahnya tanpa pamit. Pak De Frans hanya geleng-geleng sambil bersiap untuk menyalurkan hobinya, menunggu Mas Plato pulang dari jualan somay untuk diajak diskusi.

Peter ternyata jadi agak ekstrem, mulai petang itu dia tidak hanya ngaji didalam mushola, ngajinya sudah tak terbatas ruang dan waktu, dia juga nongkrong di tempatnya Mas Plato jualan somay, tempat favorit anak-anak muda yang mau pacaran. Jadi tiap yang pacaran, dibacain surah Al-Isra ayat 32 tentang larangan mendekati zina. Akibatnya Mas Plato selalu lambat pulang karena dagangannya baru habis setelah Peter menyingkir dari area berdagangnya, tapi ia kemudian ingat petuah Pak De Frans.
"Sekuat apapun rezeki dicari, tidak akan berhasil kita menemuinya karena rezeki adalah salah satu yang tak punya alamat. Tapi sebagai gantinya, rezeki punya kendaraan untuk orang-orang yang ingin mendapatkannya, kendaraannya bersyukur, ikhlas dan ikhtiar."
Jadi, tak perlu menyalahkan si Peter kalau rezeki berkurang. Mas Plato melantunkan tahmid berkali-kali setiap merenungkan hal ini, meyakinkan dirinya bahwa dengan bersyukur kita pasti ikhlas.

Sunday, December 30, 2018

Dari Yesterdayland

DariYesterdaylandAkhirnya aku hadirkan Alicepalsu dan Peterpanci dalam buminya manusia terjajah, mulai hari ini mereka akan sering menjadi tokoh utama rubrik harian ku.

Dari YesterdayLand..

@Alicepalsu : Barangkali itu kemarin yang santai-santai di zona nyaman lupa, kalau mereka juga perlu merdeka..
@Peterpanci: Koncoku udah rada eneg dengan kemerdekaan yang didramatisir..
@Alicepalsu: yo wes, orang kemerdekaan memang diperuntukkan buat yang demen berjuang..
@Peterpanci: wong edan, sampai hari ini lo aku gak pernah merasa terjajah.
@Alicepalsu: Alhamdulillah kalo gitu, berarti sampean sedang menjalani hidup yang agak sedikit terlalu datar, semoga masih punya ritme.
@Peterpanci: kalo gitu aku nanya sekarang, mana yang lebih merdeka aku apa kamu?
@Alicepalsu: aku harus optimis. Dulu kau nanya, kenapa pas agustusan aku gak pake caption sekali merdeka tetap merdeka, kan?
@Peterpanci: *mengangguk ragu
@Alicepalsu: Karena harusnya sekali merdeka, tambah merdeka, kan merdeka itu perjuangan, berarti tidak boleh statis..
@Peterpanci: kau baca kitab nganu itu lagi ya?
@Alicepalsu: berkat itu aku kini merdeka.
@Peterpanci: aku tau gayamu, selalu mengatasnamakan kemerdekaan, apa buktinya kalau kamu tidak sedang dijajah.
@Alicepalsu: besok lihat (read: to be continue