Saturday, February 23, 2019

Pasar


Disebuah sore di taman kampus, tempat terfavorit Alice dan Peter. Mereka disana lagi hari ini, menunggu burung-burung pulang ke rumahnya.
"Aku pergi ke pasar sabtu kemarin mas. Ada beberapa hal tentangnya yang membuatku kagum."

"Apa lagi kali ini?" Peter masih menunduk main game online.

"Bahwa orang_orang di pasar tradisional ternyata lebih manusiawi di banding pasar modern. Orang di pasar tradisional entah kenapa tetap saja sabar dengan mobil yang bikin macet jalanan, dengan motor yang knalpot bogarnya bikin kuping budek. Mereka tidak ada yang badmood dan kemudian memaki-maki antar sesama, meskipun dagangannya hampir dilindas ban motor. Kayaknya mereka sudah benar-benar menggantungkan rezeki pada seadil-adil Pemberi."

"Kalo pasar modern gimana emangnya dek?"

"Kalo pasar modern, sudahlah. Tidak ada yang menarik, semua yang mereka lakukan menggambarkan kalau manusia berhasil jadi budaknya produk-produk elit, mereka memilih cekcok dengan orang lain daripada kehilangan baju incarannya. Padahal kan mereka bisa ngomong baik-baik sambil ngobrol ringan seputar mode misalnya."

"Itu kan hobimu dek, gak bisa kau generalkan pada semua orang, orang modern tidak suka buang-buang waktu."

"Tapi, bukannya yang lebih buang-buang waktu adalah menundukkan kepala sambil main gadget?"

Peter mematikan gadgetnya dan tersenyum simpul, kekasihnya sedang mengalami moodswing.
"Kamu nyindir mas ya dek?"

Alice menatap Peter kesal, ia tahu mereka akan menghabiskan petang bersama kalau perdebatan mereka berlanjut, ia juga tahu bahwa kepala mungilnya itu senang bersandar di bahu Peter dibawah senja, tapi bukan itu, sebenarnya ia lebih tahu kalau Mas Peter nya akan menunda shalat maghrib lagi kali ini dengan alasan perdebatan mereka belum usai. 



Palu, hari ke-24 bulan Februari 2019

Monday, February 11, 2019

PUTU
Diantara dar dor itu, ada yang bunyinya anti mainstream, Cuma pletak pletak, kemudian beberapa gelak tawa mulai terdengar, mengejek bunyi nista mercon gadungan itu. Padahal kalo menurutku bunyi itu lebih ramah lingkungan, dibanding mercon halilintar yang bunyi ledakannya sampai menggetarkan singgasana pak RT, tapi mau bagaimana, kurang lebih pak RT pikirannya sejalan denganku. Emang udah waktunya, masak anak-anak kegirangan kek gitu mau dilarang, sahut istri pak RT yang kekuatan demokrasinya lebih mantep.
Meskipun begitu aku masih menggerutu.

“Iya, tapi suara bledosan merconnya masuk di liang telingaku.” Memang, salah satunya yang tidak pilih kasih ya bunyi, mau kuping pengemis, kuping pak RT bahkan kuping pak Presiden dimasukinya tanpa harus permisi dulu.

Tapi, sepertinya manusia-manusia di bumi RT 1 ini sedang demen mendengarkan ledakan, buktinya mereka tak ada yang khawatir sepertiku  kalau-kalau salah satu dari bunyi ledakan itu ternyata pelurunya teroris, sebagaimana isu tahunan yang rutin dikeluarkan pemerintah menjelang tahun baru, untungnya.

‘krekit krekit krekit’

Bunyi engsel jendela kamar sama sekali tak mengusik ketenangan mas Peter. Oh salah, bunyi ternyata kadang-kadang tidak mau masuk dikupingnya orang bobok. Apa orang boboknya yang tidak mau mendengar bunyi?

Mas Peter masih ngorok dengan mantep tanpa goyah. Aku yang mendengar dar dor mercon halilintar masih belum mood untuk melanjutkan tidur. Aku kok jadi khawatir, tiba-tiba menemui diriku sendiri sudah berada diantara arek nom-noman itu, ikut-ikutan nonton mercon.

“Dek? Kenapa kok gak tidur?” lha itu dia, mas Peter baru bangun setelah deritan kesekian dari jendela kamar kami.

“Berisik, banyak mercon.”
Kujawab singkat, sengaja. Sambil kepalaku kodongakkan lewat jendela.

“Kamu menggerutu begitu karena hanya mempercayai apa yang kamu dengar, bukan yang kamu saksikan. Coba kalo kamu sambil dengar kan bledosannya juga ikutan keluar memandangi cakrawala, kamu pasti bersyukur sama Gusti Allah karena dikasih mata.”

Seperti biasa, walaupun matanya masih sayup karena baru bangun, ke-bijak-kan mas Peter masih ajeg tak lekang oleh waktu. Gak kaya mas Joko tukang mebel, waktu itu anaknya yang paling miskin lagi belanja di pasar tradisional ngadu kalo harga cabe meroket, eh lha kok malah di suruh nanam cabe sendiri. Padahal tadinya anak perempuannya, si Kampreti cuma lagi manja, lagi ingin di manja, biar hanya dari penurunan harga cabe saja.

Lamunanku agak kelamaan, mas Peter ternyata sudah memakai blangkon motif Sidomukti kesayangannya.
“Ayo dek, jalan-jalan.”

Aku agak sangsi dengan ajakannya mas Peter.
“Mas, malem-malem begini?”

Mas Peter tersenyum, yang kalau sudah seperti itu, pasti tidak ingin dibantah.
Lho ayo, aku menyayangkan, ketika kepala mungilmu itu mengintip lewat jendela, nanti pegel, yang fatal juga, kemarin engselnya belum sempat diganti, nanti kalo tiba-tiba jendelanya coplok anggaran kita bisa nambah, katanya mau beli mesin cuci portable.”

Jawaban mas Peter sukses membuat bibirku ngumpul ditengah. Aku memaki dalam hati.
‘Dasar patriarkis alus, dia tidak tahu kalau aku sebenarnya ingin traveling ke Rumania.’
Aku menyambar sweater rajut warna navy andalanku.

“Enggak-enggak, mas sebenarnya hanya ingin memulai hari pertama di tahun ini bersamamu dek, biar yang mas gumamkan tiap ngelukis orang pacaran bukan hanya semboyan, i love you endlessly.”
Mau tak mau aku tersenyum, bujukan mas Peter kali ini agak lebay, mas biasanya memang suka gombal, dan kali ini ada yang baru, sok di-Inggris-inggriskan gitu, mentang-mentang aku doyan baca syair-syair nya William Shakespeares, tukang putu langgananku di pinggir pantai itu lho.

Mas peter sudah nangkring diatas motor vespa kesayangannya.
“Yok dek, nanti beli putu di jalan.”
 “Ayo.”
.
Biarpun malam. Jalanan di pesisir pantai masih rame. Pemuda-pemudi daerah hampir memenuhi setiap sudut kafe. Beberapa dari mereka ternyata ada Kafira, anaknya bude Denok tetangga kami. Pantesan tadi dari kamar aku tidak dengar suaranya, padahal biasa suaranya masih kedengaran walau tak pakai toa.
“Untungnya kita sudah menikah ya mas. Kalau tidak, mungkin kita juga masih terpenjara seperti mereka. Ya, terpenjara dalam dosa.”

Mas Peter tiba-tiba berhenti, sambil celingak-celinguk. Aku ikutan bingung. Tapi selidik demi selidik ternyata mas Peter ingat satu momen. Jadi, sebenarnya sebelum nikah aku dan mas Peter gak religius-religius amat, cuma sekitar 2 bulan setelah nikah, mas Peter rupanya mendapat hidayah berkat ceramah-ceramah yang didengarkannya di masjid Nurul Huda tiap jum’atan. Dia pulang dan mengingatkan aku untuk menutup aurat dan lain sebagainya, mau tidak mau aku pun terdampak. Cuma Alhamdulillahnya aku dan mas Peter tidak sampai pada level menghakimi. Kalau sampe begitu, maka durhakalah kami pada Tuhan, kan hanya Tuhan yang Maha Hakim. Itu semua tak luput dari petuah suamiku. Katanya ‘kita hanya disuruh beri nasihat dan saling mengingatkan dek, jangan sampai memaksa mereka untuk mengikuti mau kita.’ Agaknya nama masjid di RT kami benar-benar wujud dari do’a, buktinya kami diberi cahaya petunjuk.

Tapi lama kelamaan karena pas itu aku dan mas Peter lagi panas-panasnya belajar hijrah, tiap-tiap insan yang pacaran kami ceramahi. Naasnya orang terakhir yang mendapatkan ceramah ala kami adalah anaknya bude Denok, yang bebalnya InsyaaAllah dunia akhirat. Habis kami beri siraman rohani lengkap beserta ayat-ayatnya, Eh anak itu malah balik ceramah.
“Katanya hanya Tuhan yang Maha Hakim, masa aku yang Cuma pacaran saja kalian nerakakan, katanya mbah Kaji juga neraka itu adlaah tempat bagi orang-orang yang hina, tapi coba dipikir Yu, lebih hina mana aku apa orang yang kena operasi tangkap tangannya Yang Mulia KPK?”

Celeguk. Iya ya, tapi padahal aku dan mas Peter niatnya Cuma mau menghindarkan si Kafira dari siksa neraka, tapi yo wes lah, dari sana aku dan juga mas Peter menarik kesimpulan, ada beberapa kondisi orang bisa menerima nasihat, salah satunya adalah ketika orang itu sedang berada di titik terrendahnya. Mau tidak mau kami menunggu sambil menyumpahi Kafira, biar cepat menjemput titik terendahnya. Deg. kami sadar satu hal lagi, bahwa kami belum benar-benar hijrah karena masih merutuk dalam hati.