Monday, January 21, 2019


Petang


Peter di bawa jalan-jalan oleh Pak De Frans petang itu, diantara waktu Asar dan Maghrib yang hawanya adem nan sirep itu lho.
"Tahu ndak Le, kenapa sapinya Pak De namai Bibit?"

Pak De Frans mengelus leher Bibit, bagian favorit nya.
Peter yang sebenarnya sudah bisa menebak jawabannya hanya menggeleng dan pura-pura antusias.
"Nggak tau Pak De."

Pak De Frans duduk di pinggiran palongan, tempat menaruh pakan sapi, sambil meraba-raba kantongnya, mencari rokok.
"Harapannya sih biar dia jadi benih yang akan melahirkan banyak anak dan mengisi kandang yang hanya penuh dengan keteraturan ini."

Peter melepas topi koboinya sebentar, kemudian memakainya lagi. Rupanya ada yang menarik pikirannya.
"Semacam doa gitu ya Pak De?"

Pak De Frans mengangguk. Sambil menyedot rokok andalannya.
"Ya begitulah, tapi seumur-umur belum pernah terkabul, karena kalau butuh nya Pak De numpuk Bibit dijual sebelum sempat melahirkan anaknya."

"Berarti hutangnya Pak De sudah menghalangi terkabulnya doa keluarga ini ya?" Ledek Peter menilik ekspresi Pak De Frans.

"Belum tentu, ternyata Bibit malah lebih berbobot jika difungsikan untuk bayar hutang Le." Pak De Frans mulai menunjukkan kearifannya.

Peter tersenyum, betapa kesederhanaan di keluarga ini membuatnya tersentuh,  sepanjang pengamatannya orang tua ini tak pernah merasa susah dihadapan anak-anaknya, Pak De Frans selalu saja tenang menghadapi semua masalah, dan juga hal yang paling indah menurut Peter adalah semuanya punya filosofi sendiri dimata Pak De Frans, itu semakin membuat makhluk-makhluk disini atau bahkan dirinya sendiri merasa punya nilai, ada banyak celah yang bisa ditemukan Pak De Frans untuk sekadar memaklumi ketidaksempurnaan, ia mengangguk paham, tahulah ia kenapa bapaknya kemarin minta solusi ke Pak De Frans untuk masalah sepele seperti menenangkan ibunya yang sedang PMS, ternyata Pak De Frans kualitasnya masih sama seperti dulu. Epic.

"Pak De, maaf ya kalau Pit agak out of the topic, sebenarnya bagaimana agar kita terbebas dari pikiran zholim?" Peter masih mengutak-atik topi koboinya.

"Hati-hati memahami arti dari zholim Le, karena menurut Pak De tidak ada orang yang tidak zholim di dunia ini, zholim itu macem-macem lho, kamu alim dan rajin ibadah saja bisa dianggap zholim."
Pak De Frans tiba-tiba jadi serius, Peter akhirnya tidak pura-pura antusias lagi, kali ini ia harus dapat penjelasan.

"Bukannya yang penting aku tidak menyakiti orang lain ya?"
Pak De Frans mematikan rokoknya.

"Ada lagi Le, kamu juga harus memastikan orang lain tidak sedang disakiti, baru kamu bisa menamai dirimu bukan orang zholim."

Peter kemudian merenung agak lama, memikirkan langkahnya waktu Jum'atan di musholanya Mbah Marx Jum'at kemarin, berarti itu semua sia-sia kalau orang disekitarnya tetap seperti itu. Dia sholat 5 waktu selalu berjamaah, puasa senin kamis nyaris setiap minggu karena tidak pernah dapat palang merah, baca Al-Qur'an juga sudah kaya hobi. Tapi semua itu sia-sia rupanya, yang dilakukannya itu semata-mata hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, ia tak sadar telah menuhankan surga yang hanya ciptaan, dan me-neraka-kan orang-orang yang dianggapnya tidak beriman, padahal itu semua adalah tanggung jawabnya, yang terjadi malah dia tak lagi peduli pada si Minul yang ternyata nyaris murtad diluar sana.
"Celakalah aku."

Setelah mengatakan itu, Peter berlari menuju rumahnya tanpa pamit. Pak De Frans hanya geleng-geleng sambil bersiap untuk menyalurkan hobinya, menunggu Mas Plato pulang dari jualan somay untuk diajak diskusi.

Peter ternyata jadi agak ekstrem, mulai petang itu dia tidak hanya ngaji didalam mushola, ngajinya sudah tak terbatas ruang dan waktu, dia juga nongkrong di tempatnya Mas Plato jualan somay, tempat favorit anak-anak muda yang mau pacaran. Jadi tiap yang pacaran, dibacain surah Al-Isra ayat 32 tentang larangan mendekati zina. Akibatnya Mas Plato selalu lambat pulang karena dagangannya baru habis setelah Peter menyingkir dari area berdagangnya, tapi ia kemudian ingat petuah Pak De Frans.
"Sekuat apapun rezeki dicari, tidak akan berhasil kita menemuinya karena rezeki adalah salah satu yang tak punya alamat. Tapi sebagai gantinya, rezeki punya kendaraan untuk orang-orang yang ingin mendapatkannya, kendaraannya bersyukur, ikhlas dan ikhtiar."
Jadi, tak perlu menyalahkan si Peter kalau rezeki berkurang. Mas Plato melantunkan tahmid berkali-kali setiap merenungkan hal ini, meyakinkan dirinya bahwa dengan bersyukur kita pasti ikhlas.